BELENGGU API TUNGGU
Rasanya semua sudah tak berarti apa-apa. Panah asmara yang dulu Tuan berikan telah sirna menyisakan kenangan. Samakah Anda dengan Tuan yang saya kenal? Ah, tidak. Hampa ... asing. Semua tak sama meski dipaksa. Malapetaka berselimut euforia, tak bisa terelak sebab tertutup jamanika. Sedang distopia di atas utopia, berpeluk di antara sang dama. Huh! Tersadar akan hal yang mengganjal. Gadis ini terlalu naif untuk sebuah fakta. Gadis ini terlalu takut akan atma dalam daksa yang berbeda. Tuan, bisakah kembali dalam pelukan? Dapatkah terwujud semua angan? Apakah asa dapat memecah sebuah aksa? Mungkinkah? Tuan hanya bergeming tanpa suara. Hanya mampu menatap lekat tanpa mendekat. Lihatlah, Tuan! Sekat ini tak sedekat dulu. Sekat ini berhasil memisahkan dua kubu yang saling beradu. Entah dari mana asal muasal terdahulu, yang ada hanya meniru hal semu. Meski kelabu, tapi logika tahu.
Anda tahu, Tuan? Di sana, sepasang manik legam menatap nabastala malam dalam diam. Berpikir; akankah kenangan itu ‘kan terukir? Seutas senyum terpatri kala menanti jawab yang mendebarkan hati. Berperang di antara logika dan daya. Pengharap yang ‘kan mekar membawa indahnya kabar. Tidak. Semua ternyata salah. Semua hanya alibi yang tersusun rapi. Semua telah terkikir berpayung sang akhir. Sang gadis nyatanya hanya tersihir, berpegang kuat pada kisah di bawah angin sumilir. Meski terpampang jelas binar indah itu nyata. Namun, semua hanya niskala. Semua hanya semu yang hadir secara berkala. Datang dan hilang tanpa tapak yang tercetak. Bagai simfoni bernada elegi, indah dan menyayat hati. Dia tenang, tapi tersesat dalam bui. Terselip sebuah asrar dalam lipatan asmaraloka. Tersembunyi dan tak ingin diketahui.
Dia tertikam dalam keheningan. Sebilah belati tak kasat mata menjelma dalam hangatnya genggam tangan tanpa tahu arah. Tepat dan cepat. Jauh melesat menembus rongga dada dalam sekejap. Dia; Sang Tuan impian. Dia; separuh napas milik gadis desa. Dia; terenggut bersama belenggu sang api tunggu. Menari di bawah tirta beku dan berenang di atas awan kelabu. Maafkan gadis desa ini, Tuan. Saksi bisu berwujud batu menemani kesendirian. Cahaya bulan yang menjadi candu menjadi lawakan. Riuh gagak tanpa penghulu menguar menerobos indra pendengar. "Saya mencintai Anda, Tuan," katanya tertelan hening malam. Netra itu bersinar di bawah kilau temaram. Netra itu menajam seiring nuraga yang tak didapatkan. Netra itu bergetar menatap merah di depan. Netra itu ... penuh dendam.
Berkedip dalam sedetik. Eonoia hadir kala fakta bergilir. Nayanika itu hilang tanpa berakhir. Sebuah angan tercetus dalam pola pikir. Indahnya senja saat menikmati bersama. Bermimpi, dapatkan melakukannya dengan Tuan? Memandang swastaita hingga ia menjadi gata. Bertukar canda hingga lelah dengan sendirinya. Bercerita masa depan tanpa memikirkan hal yang akan datang. Menyenangkan, bukan? Sangat, itu pasti. "Ulurkan tangan Anda tuan!" Sebuah perintah mutlak dari gadis desa yang mendekap lemahnya daksa. Dingin menjalar, tangan indah itu mengigil di dalam tangkupan mungil. Rona merah bersemu terganti oleh putih salju. Sepasang netra bertema padmalini seakan tersisa ilusi. Sayu mendominasi dan tak seindah dulu lagi. Tarikan lemah menjadi teman yang paling setia. Lepaskan, Tuan. Jangan memaksa jiwa yang ingin melayang bebas di angkasa. Upaya menahan itu akan berakhir sia-sia. Mari terbang bersama sebelum sang alam memisahkan kita.
Hei, Tuan. Dengarkan suara lirih yang hadir di dekat telinga. Saya bisikkan sesuatu pada Anda. Tak apa, Anda tak perlu membuka indahnya netra. Sebuah cerita ... seorang gadis desa yang merindu sang pangeran. Sebuah cerita yang masih jelas terdengar. Entah kapan waktunya ‘kan tersamarkan. Dalih kebohongan yang menjadi acuan semakin kuat tak terkalahkan. Di balik rindu terselip rasa malu yang menggoyahkan kala bertemu. Gadis desa itu ... siluet di depanmu. Benar. Semua perihal sang sukma pada raga di depan Anda; sang gadis desa. Rasa tersembunyi yang dia simpan rapi pada celah hati telah terbukti. Jeritan aruna saat itu membawa duka di sudut nirwana. Garis kegetiran nyata terekam menghias durja rupawan miliknya. Entah mengapa senyum pahit itu terlihat menawan, Tuan. Muara bening berhasil tergambar menjadi linang air mata bercampur isak yang menyesak. Penyesalan dan kelegaan terlukis bersama di atas kanvas putih bersih, saling berebut tanpa belas kasih. Maknanya, ia kelabu ‘tika saat bersama. Entah apa alasannya, tetap tak sempurna. Satu hal terakhir, Tuan. Mari menyulam kilasan berkesan yang terlupakan. Tanpa jeda dan tanpa terlewat adegan. Mari memulai kehidupan yang paling sempurna. Mari ... kembali hidup sekali lagi.
©®Ruangrasagadisdesa
@nrfatta
Komentar
Posting Komentar